Pengembangan dan Perluasan VoIP

Keengganan pemerintah untuk mempermudah pengembangan dan perluasan VoIP jelas-jelas bertentangan dengan konstitusi Indonesia. Sebagai sebuah negara yang berdasarkan hukum material/sosial, Indonesia menganut prinsip perlindungan hak-hak asasi manusia dan prinsip pemerintahan yang menciptakan kemakmuran rakyat. 
 
Hak warga negara untuk dapat menikmati layanan telekomunikasi yang sesuai dengan kemampuan mereka dijamin oleh Undang-Undang Dasar sebagai hak yang paling mendasar. Bila hak ini tidak dapat dinikmati karena peraturan perundang-undangan di bawahnya berusaha menghambat perkembangan VoIP yang jelas-jelas lebih murah, sudah seharusnya pemerintah melakukan perbaikan-perbaikan. Selain dapat menghambat perluasan layanan VoIP, ketentuan yang mengharuskan adanya kerjasama operasi hanya akan mengakibatkan inefisiensi, baik yang merugikan negara maupun yang langsung merugikan masyarakat.

Salah satu yang menjadi alasan pembatasan layanan VoIP adalah untuk melindungi industri telekomunikasi dalam negeri. Alasan ini dapat dimengerti karena 65 % pendapatan Telkom sendiri berasal dari sambungan jarak jauh. Dengan adanya layanan VoIP, pendapatan mereka bisa menurun drastis yang juga akan menurunkan pendapatan negara. Konflik kepentingan ini harus dapat diatasi oleh pemerintah. Mempertahankan teknologi yang memberikan ongkos yang besar perlu dipertimbangkan kembali. Membatasi layanan telekomunikasi yang murah merupakan proses pembodohan kepada masyarakat. Adanya kepentingan pemerintah untuk melakukan pembinaan, pembatasan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan telekomunikasi pada dasarnya merupakan realisasi dari kewajiban negara dalam menjamin hak bertelekomunikasi warga negara. 
 
Dilihat dari kewajiban negara menyelenggarakan kesejahteraan rakyat, pemerintah seharusnya mendukung pengembangan jasa layanan VoIP yang nantinya dapat memeratakan hasil-hasil pembangunan dan sekaligus meningkatkan ekenomi rakyat sebagai hasil dari efisiensi. Bukan tidak mungkin, hasil dari efisiensi dalam masyarakat ini memberikan keuntungan yang lebih baik daripada harus mempertahankan kepentingan industri telekomunikasi dalam negeri. Kehendak konsititusi harus selalu diutamakan daripada pertimbangan untung-rugi.

Masyarakat sangat membutuhkan teknologi VoIP, terutama di daerah-daerah yang tidak terjangkau oleh jaringan konvensional dari Telkom. Dari sekitar 72.000 desa yang ada di Indonesia, sekitar 43.000 desa belum mendapat sambungan telepon dasar. Melihat kondisi ini, pemerintah harus bergerak cepat dan responsif dalam melakukan pemerataan pembangunan, terutama di bidang telekomunikasi. Teknologinya sudah tersedia, yang dibutuhkan hanyalah kemauan dari pemerintah untuk memberikan kemudahan-kemudahan, baik pengaturan hukum maupun pelaksanaannya.

Selain membatasi layanan VoIP dengan mengharuskan adanya izin dari Menteri, awalnya penyelenggara jasa VoIP juga diharuskan menyertakan deposit tunai sebesar Rp. 10 Milliar sebagai jaminan kelangsungan pelayanan kepada publik, seperti yang tertuang dalam Keputusan Dirjen Postel No.199/Dirjen/2001 tentang Ketentuan Teknis Penyelenggaraan Internet Telepon untuk Keperluan Publik tertanggal 6 September 2001. 
 
Belakangan, Keputusan Dirjen ini ditunda berlakunya. Paling tidak, regulasi ini menggambarkan rumitnya sistem birokrasi. Sudah waktunya bagi pemerintah untuk melakukan deregulasi secara komprehensif agar tidak ada lagi penafsiran-penafsiran yang berbeda di dalam masyarakat dan sekaligus mempertajam arah pembangunan di bidang telekomunikasi. 
 
Adanya kebutuhan yang besar terhadap VoIP harus dilihat sebagai sebuah urgensi untuk mengatur lahan bidang telekomunikasi ini. Regulasi yang ada saat ini tidaklah memadai untuk pengaturan sebuah jasa VoIP yang sangat berkembang cepat. Untuk masa transisi, sebaiknya pemerintah memberikan kelonggaran-kelonggaran yang dapat memudahkan pengembangan VoIP sampai ke pelosok-pelosok negeri yang sebelumnya kurang dapat menikmati layanan telekomunikasi yang masih mahal.

0 comments:

Post a Comment

 

X-tra Indonesia Blogger Copyright © 2011-2012 | Powered by Blogger