Tinjauan Hukum Layanan Voip

Telekomunikasi termasuk cabang produksi yang penting dan strategis dalam perekonomian nasional sehingga penguasaannya dilakukan oleh negara yang dimanfaatkan sebesar-besarnya demi kepentingan dan kemakmuran rakyat. Hal ini dengan tegas dinyatakan dalam Pasal 4 Undang-Undang No. 36 Tahun 1996 tentang elekomunikasi. Pembinaan penyelenggaraan telekomunikasi dilakukan oleh pemerintah. Pasal ini memberikan wewenang yang mutlak kepada pemerintah atas nama negara untuk mengembangkan segi-segi kehidupan terkait dengan bidang telekomunikasi. Terkait dengan hukum administrasi publik, wewenang di sini merupakan suatu keharusan yang lakukan oleh pemerintah, bukan lagi merupakan hak yang dapat dilakukan ataupun tidak. Pemerintah memiliki tanggung jawab dalam memberikan sarana-sarana bertelekomunikasi yang efektif, efisien dan terjangkau oleh segala lapisan masyarakat.

Di sisi lain, Pasal 28F Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen memberikan kepastian hukum kepada setiap orang untuk dapat berkomunikasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia. Landasan konstitutif ini merupakan modal dasar bagi pengguna layanan telekomunikasi yang di dalamnya termasuk sarana komunikasi melalui VoIP.

Dalam Undang-Undang Telekomunikasi ini, belum disinggung mengenai VoIP. Walau tidak tegas disebut dalam pasal, ketentuan mengenai VoIP dapat dilihat dalam Peraturan Pemerintah No. 52 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi. Sebuah Peraturan Pemerintah dibentuk oleh Presiden berdasarkan wewenang yang diberikan oleh Pasal 5 (2) Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen. Peraturan Pemerintah ini berfungsi untuk menyelenggarakan ketentuan dalam Undang-Undang, baik yang secara tegas-tegas maupun secara tidak tegas menyebutkannya. Dalam Pasal 14 Peraturan Pemerintah No. 52 Tahun 2000, penyelenggaraan jasa telekomunikasi diklasifikasikan dalam tiga jenis, yaitu:

1. Penyelenggaraan jasa teleponi dasar

2. Penyelenggaraan jasa nilai tambah teleponi

3. Penyelenggaraan jasa multimedia

Dalam hal ini, yang dimaksud dengan jasa telekomunikasi adalah layanan telekomunikasi untuk memenuhi kebutuhan bertelekomunikasi dengan menggunakan jaringan telekomunikasi. Di dalam Penjelasan Pasal 14 huruf c dalam Peraturan Pemerintah tersebut, yang dimaksud dengan penyelenggaraan jasa multimedia adalah penyelenggaraan jasa telekomunikasi yang menawarkan layanan berbasis teknologi informasi, termasuk di dalamnya antara lain: penyelenggaraan jasa Voice over Internet Protocol (VoIP), internet dan intranet, komunikasi data, konperensi video dan jasa video hiburan. Penyelenggaraan jasa multimedia dapat dilakukan secara jual kembali. Jadi, layanan VoIP digolongkan sebagai penyelenggaraan jasa multimedia. Permasalahannya, apakah layanan VoIP berbasis Phone-to-Phone masih merupakan jasa multimedia atau termasuk jasa teleponi dasar. Banyak pihak yang beranggapan bahwa ketentuan mengenai VoIP tidak jelas pengaturannya karena tidak ada disebutkan baik dalam Undang-Undang maupun dalam Peraturan Pemerintah dan bahkan Undang-Undang dianggap tidak mampu mengikuti perkembangan teknologi informasi. Penjelasan seringkali diperlukan dalam menafsirkan suatu peraturan perundang-undangan. Penjelasan dalam sebuah perundang-undangan merupakan suatu kesatuan penjelasan resmi dari pembentuk peraturan perundang-undangan tersebut. Dalam hal ini, penjelasan berfungsi untuk dapat membantu dalam mengetahui maksud dan latar belakang diadakannya suatu peraturan perundang-undangan serta untuk menjelaskan ketentuan-ketentuan yang masih memerlukan sebuah kejelasan. Jadi, walaupun mengenai VoIP hanya dijelaskan dalam lembaran Penjelasan, tetap saja materi ini dianggap sebagai muatan dalam Peraturan Pemerintah No. 52 Tahun 2000 yang merupakan penjabaran atau untuk menjalankan ketentuan Undang-Undang. Oleh sebab itu, sangatlah tidak beralasan bahwa aturan mengenai penyelenggaraan jasa VoIP belum jelas atau tidak ada dasar hukumnya.

Alasan adanya ketidakjelasan mengenai pengaturan VoIP ini seringkali dijadikan sebagai kambing hitam maupun sebagai celah untuk menyelenggarakan layanan VoIP. Salah satu perdebatan adalah mengenai apakah yang dikirim melalui Internet itu dapat disebut suara atau data. Penyelenggara VoIP bersikeras yang dikirim adalah data, bukan suara. Jadi, mereka tidak merebut lahan dari Telkom. Namun, anggapan ini juga tidak sepenuhnya benar. Dalam Penjelasan Pasal 14 huruf c Peraturan Pemerintah No. 52 Tahun 2000, penyelenggaraan komunikasi data juga termasuk sebagai penyelenggaraan jasa multimedia. Jadi, tetap saja menjadi lingkup kewenangan Undang-Undang Telekomunikasi.

Untuk dapat memberikan layanan VoIP, penyelenggara jasa VoIP diwajibkan untuk bekerja sama dengan penyelenggara jaringan telekomunikasi dalam bentuk kerjasama operasi, seperti yang tertuang dalam Pasal 13 Peraturan Pemerintah No. 52 Tahun 2000. Ini menjadi kendala bagi penyelenggara VoIP karena mau tidak mau harus bekerja sama dengan Telkom yang memiliki pasar di atas 50 %. Walaupun Undang-Undang membolehkan penyelenggara VoIP menggunakan jaringan sendiri, namun cara ini tentu menjadi tidak efisien karena harus membangun jaringan baru.

Pengaturan penyelenggaraan jasa VoIP dijabarkan oleh Keputusan Menteri Perhubungan No. 23 tahun 2002. Di sini, pengaturan hanya mencakup jasa VoIP untuk keperluan publik. Batasan untuk keperluan publik di sini adalah sangatlah luas. Dalam Keputusan Menteri ini, yang dimaksud dengan keperluan publik adalah dapat dimanfaatkan oleh masyarakat. Bila bukan untuk keperluan pribadi, semua penyelenggaraaan jasa VoIP harus mendapat izin Menteri. Bila siapa saja yang tidak memenuhi ketentuan ini, Undang-Undang No. 36 Tahun 1996 dalam Pasal 47 memberikan sanksi pidana paling lama 6 tahun penjara dan/atau denda sampai Rp 600 juta. Jadi, dalam kasus penyelenggaraaan jasa VoIP yang tidak memiliki izin dari Menteri, secara yuridis memang dapat diancam dengan sanksi pidana ini.

0 comments:

Post a Comment

 

X-tra Indonesia Blogger Copyright © 2011-2012 | Powered by Blogger