Keragaan Lembaga Pembiayaan Mikro di Pedesaan

Pembiayaan mikro pertanian di pedesaan telah diaplikasikan dan disalurkan tidak hanya melalui lembaga-lembaga formal tapi juga melalui lembaga informal. Lembaga formal yang ditugasi menyalurkan antara lain bank-bank pemerintah dan bank swsata. Sedangkan lembaga-lembaga informal yang turut berperan meliputi pedagang input pertanian, pedagang hasil-hasil pertanian dan juga para pedagang yang berfungsi kedua-duanya, yaitu pedagang input dan pedagang output. 

Sementara, menurut kebiasaan atau dari segi perilaku dan pola sikap masyarakat petani, mempunyai hutang bukanlah merupakan sesuatu yang memalukan. Bahkan berhutang untuk memenuhi keperluan pembiayaan usahatani sudah merupakan hal yang biasa dilakukan. Penerapan sistem bunga umumnya dapat diterima masyarakat karena dinilai sebagai pembayaran jasa pinjaman. Lembaga pembiayaan sistem syariah belum dapat diterapkan dalam masyarakat di pedesaan. Sumber pembiayaan yang beraqsal dari petani sendiri seringkali disisihkan dari hasil pertanian dan disimpan/ditabung dalam bentuk hewan ternak atau perhiasan emas, dengan pertimbangan bahwa jenis barang ini mudah untuk di uangkan (dengan cara serupa juga ditemukan beberapa kasus untuk persiapan dan pelaksanaan menunaikan ibadah haji). Alternatif sumber pembiayaan lain yaitu dengan cara meminjam pada lembaga pembiayaan formal atau informal sesuai dengan aksesibilitas masing-masing. 

Sumber pembiayaan lembaga formal yang menjadi pilihan dan dekat dengan masyarakat di pedesaan adalah bank pemerintah khususnya Bank BRI namun bank-bank lain seperti Bank Mandiri, Bank BNI, BPD melalui BPR dan BKK dan lain-lain juga dapat diakses masyarakat. Meskipun di Bank BRI tingkat wilayah penyaluran kredit untuk sektor pertanian relatif kecil, tapi di tingkat Unit Desa porsi kredit mikro pertanian menduduki urutan pertama. 

Sementara, kredit mikro informal disalurkan melalui fihak swasta sebagai pelepas uang, seperti bank Plecit/Kangkung (NTB) dan bank Tuyul (Jateng). Lembaga-lembaga informal ini umumnya mudah diakses oleh siapa saja yang memerlukan, secara cepat, jarak dekat, waktu dan besar pinjaman sesuai kebutuhan, dengan prosedur sederhana dan tanpa agunan, tapi dengan tingkat bunga yang lebih tinggi. Hubungan pinjaman demikian lebih didasarkan pada kepercayaan ketimbang jamianan seperti halnya institusi pembiayaan komersial. 

Pada kenyataannya, lembaga formal pembiayaan mikro di lokasi penelitian lebih diakses oleh golongan petani yang menguasai lahan luas dan/atau pedagang secara individual. Sedangkan para petani yang menguasai lahan sempit mengalami kesulitan mengakses lembaga formal tersebut yang antara lain disebabkan belum memiliki aset yang dapat dijadikan jaminan (seperti sertfikat pemilikan tanah, BPKB kendaraan bermotor dsb.). Bahkan sebagian besar diantara mereka, kalaupun memiliki masih takut dan enggan menjadikannya penjamin pinjaman. Sedangkan penyaluran kredit melalui kelompok dinilai tidak praktis, selain kepercayaan atas kemampuan dan kejujuran pengurus kelompok tidak sepenuhnya dapat diandalkan. 

Kasus di Sulawesi Selatan, adanya satu lembaga mediator IFC-Pensa (International Funancing Corporate – Pengembangan Usaha) yang berhasil menjadi penghubung antara pihak perbankan dan petani. Lembaga ini merupakan salah satu LSM dari World Bank Group yang mengkhususkan diri pada upaya peningkatan taraf hidup masyarakat melalui penciptaan peluang bisnis pada usaha kecil dan menengah (UKM). Di kabupaten Bantaeng Sulsel, IFC-Pensa berperan sebagai lembaga mediator antara pihak perbankan (BSM Makassar) dengan kelompok petani (usahatani jagung). Lembaga ini tidak hanya berfungsi sebagai mediator penyaluran kredit, tapi juga bertindak sebagai technical assistance yang membantu petani dalam pengembangan SDM dan kelembagaannya. 

Berbagai program pembiayaan mikro telah direalisasikan baik oleh lembaga perbankan maupun lembaga-lembaga pemerintah seperti Pemda/Bappeda dan Departemen Pertanian. Namun, kredit tersebut sering kali tidak terserap karena berbagai faktor, antara lain tidak tepat waktu. Selain itu adanya pandangan pihak-pihak tertentu yang beranggapan bahwa kredit program merupakan hibah dari pemerintah yang tidak perlu dikembalikan dan berakibat terjadinya tunggakan. Di beberapa lokasi terdapat program bantuan yang dikelola secara otonom dan disalurkan melalui kelembagaan Kelompok Tani, Lembaga Keuangan Mikro yang merupakan transformasi dari P4K atau koperasi. Akan tetapi kiranya masih diperlukan pembinaan lembaga-lembaga tersebut agar dapat berperan lebih efektif. Disamping itu, diperlukan revitalisasi tenaga penyuluh dan kegiatan penyuluhan agar adopsi teknologi dapat lebih efektif sekaligus pemanfaatan dana pembiayaan mikro yang disediakan.

0 comments:

Post a Comment

 

X-tra Indonesia Blogger Copyright © 2011-2012 | Powered by Blogger